Hitung Menghitung Kemenangan

Tanggal 17 April 2019 adalah sejarah baru dalam proses demokrasi Indonesia. Rekor pertama, proses pencoblosan di hadiahi 5 surat suara sekaligus, warna abu-abu untuk Presiden RI, warna kuning untuk DPR-RI, warna merah untuk DPD-RI, warna biru untuk DPRD Propinsi, dan warna hijau untuk DPRD Kab/Kota. Rata-rata pemilih mengambil waktu lima sampai tujuh menit jika sudah memiliki ayam jagonya dan lebih dari sepuluh  menit jika belum memiliki pilihan. Waktu yang terbilang cukup lama, tapi mau di apakan lagi. Yang penting mereka datang ke TPS untuk menggunakan hak suaranya.

Saya, bapak dan ibu saya memang sudah berdomisili di Kel. Petobo sejak  tahun 2015 kemarin. Sayangnya, kami tidak terdaftar di satupun TPS disana saat DPT di rilis jauh sebelum bencana. Maka, bapak saya berinisiatif pergi mengecek nama kami di Kel. Donggalakodi, dengan harapan akan terdaftar sebagai pemilih disana mengingat sudah beberapa kali pemilu kami lewati disana. Ternyata benar, kami terdaftar di TPS 10 Kel. Donggalakodi. Dan tanpa menunda, setelah mengenakan pakaian favorit berwarna putih dan rok batik, disertai jilbab senada, saya mengajak ibu saya berangkat ke TPS tempat kami menjadi pelaku demokrasi untuk Indonesia Berdaulat.

Tepat pukul 10.00 wita, kami tiba di TPS. Bapak yang sudah terlebih dahulu berada disana dan melaporkan KTP kami (sebagai pengganti C6) pun terlihat sangat bersemangat untuk segera masuk ke bilik suara. Sayangnya, durasi menunggu membuat kami menyelesaikan proses itu lebih kurang pukul 11. 15 wita siang itu. Dengan kelingking bertinta, saya mengajak ibu saya ber-selfie di depan papan nama calon kandidat yang akan dilihat dalam surat suara. Foto itupun langsung saya unggah ke instagram, dengan menyertakan gambar suara Indonesia dan langsung di repost hari itu juga.

Ah, senang sekali rasanya...
Bahkan saya hampir membuat caption "Selamat hari kelingking se-Indonesia" karena mengingat duplikat Jokowi di Rumah Aspirasi Jokowi-Amin di kawasan Menteng yang mengangkat jari kelingkingnya sambil memegang gitar berwarna merah. Hari itu, saya dan Ibu Kristin Samah tersenyum sumringah, karena hari itu adalah kali kedua pertemuan kami setelah pertemuan pertama kala beliau berkunjung ke Palu pasca bencana 28 September silam.

Banyak hal yang ingin saya bahas sebenarnya dalam tulisan ini. Salah satunya tentang minat pemilih untuk menggunakan hak pilihnya. Sangat disayangkan, banyak anak muda yang datang ke TPS hanya untuk menggunakan surat suara untuk Pilpres dan melewatkan surat suara lainnya. Hal ini terbukti dari jumlah surat suara sah untuk pilpres yang jauh lebih "berisi" dibandingkan dengan jumlah surat suara sah yang menjadi keterwakilan terhadap pilihan dari pemilihan umum hari itu. Hal ini sangat di sayangkan, sebab perhelatan akbar kali ini sesungguhnya menyentuh lapisan struktur pemerintahan terkuat dalam hal urus mengurus rakyat, di perjelas dengan 5 jenis surat suara tersebut. Kita sama-sama tahu bagaimana capres petahana membuat terobosan baru selama masa kepemimpinannya, meskipun masih jauh dari kata sempurna, sekurang-kurangnya beliau melakukan terobosan baru yang tentu belum di lakukan oleh pemimpin sebelumnya. Tak perlu di perpanjang, sebab fokus kita dalam tulisan ini bukan tentang prestasi petahana ataupun alasan untuk mendukung beliau. Sudah terlambat, tulisan tentang itu harusnya di rilis sebelum pemilu, seperti film dokumenter versi Jatam, Sexy Killers.

Kedua, tentang "anehnya" manajemen perhitungan suara. Dimulai dari jumlah saksi yang minim, yaitu satu orang saksi untuk satu partai, maka aoutomatically, satu orang saksi bersaksi untuk tiga fase sekaligus, yaitu DPR-RI, DPRD Propinsi & DPRD Kab/Kota. Maka tidak mengherankan fenomena "kelelahan" hits di beberapa hari pasca pemilu serentak. Sedihnya,  banyak petugas pemilu mulai dari personel KPU, Bawaslu hingga petugas Partai tumbang. Beberapa dari mereka bahkan meninggal karena kelelahan. Semoga Tuhan mengampuni dosa mereka dan memberikan ketabahan bagi keluarga yang di tinggalkan, aamiin!

Ketiga, fenomena DPTK, C6 yang tidak terdistribusi dengan baik, netralitas yang sudah mati karena KPPS datang mengantarkan C6 sambil mengkampanyekan TPS (Tusuk Prabowo Sandi) saat 17 April nanti, ddan masih banyak keanehan lainnya. Entahlah, mungkin jika Soeharto masih hidup, sudah banyak orang yang "disekolahkan" oleh tentara karena sering melontarkan ucapan berupa sindiran & kudeta tipis-tipis kepada Presiden yang menjabat. Jika dia Soeharto, saya yakin, kalian tak sebebas itu menyebarkan ujaran kebencian, hoax & fitnah.

Keempat, Fenomena baku klaim sebagai pemenang, mulai dari capres hingga caleg, semua baku siku, berebut mengklaim kemenangan. Ada yang melakukan tabulasi data bersama timnya sendiri, ada yang menunggu hasil partai lalu kalah dan merasa di curangi, ada juga yang hanya setengah hati, mengintip-intip pleno terbuka di masing-masing kecamatan yang sedang berlangsung sampai saat ini dan sudah memasuki hari ke enam.

Kelima, postingan ucapan selamat kepada sesama kontestan politik yang bertarung dan berbesar hati mengakui kekalahan adalah tindakan paling keren dan rasional dari pada ribut-ribut menuduh orang lain berbuat curang, berkoar-koar tidak jelas, menuduh si a dan si b hanya sebagai pelampiasan emosi atas kekalahan yang belum bisa di terima. Sudahlah, sesungguhnya itu membuang waktu, kawan. Tetapi jika kau menemukan kecurangan dan berdampak pada suaramu, PERJUANGKAN dan LAWAN!

Hakikatnya, Pemilu (Pemilihan Umum) adalah Institusional Konflik atau pelembagaan konflik dalam artian pemilu bertujuan untuk membawa konflik hanya dalam ruang parlemen, sehingga dalam kehidupan sosial semua bisa berjalan dengan baik. Sebab dalam bernegara, menyatukan banyak pikiran tentu tugas yang berat. Si A memiliki pikiran yang berbeda dengan Si B, Si C ingin menjaga kesatuan NKRI demikian halnya Si D meskipun caranya berbeda, hal inilah yang melatari semakin banyaknya Partai Politik yang bermunculan. Sehingga fenomena terbaru adalah konflik inkonstitusional melalui perang tagar antar pendukung capres yang entah kapan habisnya. Hehe

Akhirnya, ucapan selamat saya haturkan kepada para peraih suara tertinggi di kontestasi politik terbesar pertama dalam catatan sejarah Indonesia. Kemenangan adalah awal yang baru untuk memenuhi janji kepada rakyat. Selamat bertugas, tetap rendah hati, tetap menjadi garis terdepan untuk rakyat, menjadi pejuang tak kenal waktu untuk rakyat, menjadi pendengar yang baik untuk banyak orang. 

Salam hormat kepada caleg yang memilih jalur anti mainstream, yakni menghilangkan kisah klasik money politik. Menang atau kalah hanya soal di lantik atau tidak dilantik. Seseorang pernah berkata kepada saya, "Ini bukan soal idealisme, bukan pula soal jujur-jujuran. Ini soal siapa yang dilantik." Saya pun terdiam, kemudian enggan berkomunikasi dengan orang itu sampai saat ini.Belum terpilih, niatan KKN sudah jelas terucap, bagaimana jika ia duduk? mudah-mudahan tidak "tadudu" orang palu bilang.

Di tulis di atas meja,
Di dalam ruang suatu Cafe yang sambal ijonya enak sekali.
Purple Corner In Petobo
Pkl. 20.22 WITA

Note: tulisan ini hanya berisi tulisan saja, sedang tak ingin mengisi gambar.

Komentar

Postingan Populer