Mendung-Mendung Baper Jelang Berbuka Puasa Part I


Islam Sederhana & Ideologi Khilafah di Indonesia

Banyak tulisan maupun perbincangan berseliweran, baik itu secara langsung maupun melalui media, tentang Islam. Misalnya tentang kesatuan ummat, pembahasan tentang ideologi khilafah untuk diberlakukan di Indonesia, ulama yang berpolitik, Tuhan yang berpartai atau partai Tuhan (entahlah, saya juga bingung dan beristigfar), menggali luka moral (saya bingung harus menyebutnya dengan istilah apa) tentang kasus Koh Ahok, dan kesucian Al-Qur’an.

Hal ini menyisakan banyak tanya dikepala saya. Lalu saya mulai mencari orang-orang untuk berdiskusi. Katanya, saya mulai gelisah. Sebenarnya sangat sulit untuk menata tulisan ini dengan baik, sebab saya sendiri sudah gemas terhadap mereka yang entah mendapatkan isi kepala mereka dari mana. Tapi, mari kita mulai dari Islam yang sederhana. Apa itu Islam sederhana? Ini bukan golongan baru, atau ajaran baru ya. Tapi ini realita yang saya rasakan. Anda bisa dengan leluasa mengoreksi jika pendapat saya salah.

Beberapa hari yang lalu, saya memulai diskusi (tapi teman lain berpandangan itu adalah perdebatan) bersama teman-teman sekelas saya. Berawal dari postingan saya yang memuat meme #2018tolakTHR untuk membantu melunasi hutang negara, terjadilah pembahasan ini. Mereka banyak meluapkan kekecewaan terhadap pemimpin kita saat ini yang menurut saya masih wajar karena mungkin mereka lebih banyak melahap bacaan sektarian dari pada media nasional (walaupun faktanya saya sendiri juga jarang membaca). Sampai pada pernyataan bahwa “Presiden saat ini men-dis-kre-dit-kan ISLAM!” Ok, kau mulai keterlaluan.

Pernyataan tidak berdasar itu mulai memicu semangat saya untuk memainkan jempol, karena perdebatan kami hanya melalui obrolan aplikasi. Ada yang mengatakan bahwa Presiden “tak bisa mengucapkan Lahawla wa laa kuwwata illa billah ... terlalu banyak anu nganunya... plenga plongo sampai dijuluki Dilan” (betapa bekennya tokoh ciptaanmu hai Pidi Baiq). Jadi perdebatan ini dimulai dan agaknya terlaksana karena memang kita sudah memasuki tahun politik. Hanya saja, saya berpendapat bahwa terlepas dari tahun politik, menyadari dan mengkaji secara objektif itu penting. Lalu pelafalan, shalat atau sedekah, atau apapun bentuk ibadah itu adalah urusan HAMBA dan PENCIPTANYA. Kemudian mereka berargumen lagi mengenai bagaimana idealnya jika ideologi khilafah diberlakukan di Indonesia. Saya membantah lagi. Saya bilang, bagaimana mungkin negara yang dibangun dengan pondasi demokrasi dan bhinneka tunggal ika kalian paksakan diubah menjadi satu sisi? Saya didebat lagi, katanya “dari mana kau tahu? Anda bukan Tuhan yang Maha Mengetahui. Khilafah itu dari Allah, Tuhanmu sendiri” saya menarik nafas panjang. Bahkan ada seorang teman yang mengutip kalimat dr.Zakir Naik “Ahok munafik. Bangun masjid tapi tidak mau shalat di dalamnya.” Hey! Hey! Apakah itu benar-benar diucapkan oleh dr.Zakir Naik? Jika iya, sangat disayangkan pertanyaanku tidak akan pernah terjawab oleh dr.Zakir Naik. Sebab dari statement itu saya memiliki pertanyaan, apakah saat saya berkontribusi untuk membantu pembangunan gereja, vihara, pura atau apapun rumah ibadah selain masjid, apakah saya juga harus beribadah sesuai keyakinan agama yang saya bantu agar tidak disebut munafik? Adakah satu dari kalian yang bisa menjawab?

Ah, rasanya sedih dan tak mampu membendung air mataku melihat jejalan huruf yang merangkai kalimat berindikasi krisis logika serta pemahaman agama. Karena saya kekeuh menolak paham mereka mengenai diberlakukannya ideologi khilafah di Indonesia, mereka berkata saya sesat dan memungkiri ajaran agama saya. Lalu mereka mempertanyakan ke-Islam-an saya. Mungkin karena terlanjur kesal, saat itu saya berargumen seperti ini, “Lantas kalau sekarang saya mengakui bahwa saya adalah seorang SYI’AH, kalian mau apa?” sontak saja obrolan semakin ramai, para silent reader turut berpartisipasi dan mengetik huruf untuk menyuarakan istigfar. Lalu mereka berkata, pantas saja kau mengagumi Ahok. Pantas saja kau PRO JOKOWI. Ternyata kau SYI’AH dan kau SESAT! Saya tertawa terbahak-bahak. Entah luapan emosi jenis apa yang terasa saat itu.

Saya menjawab, atas dasar apa kalian memfonis bahwa SYI’AH adalah sesat? Mereka menjawab, “Banyak kajian di youtube dan internet.” Mereka mulai aneh. Saya mempertegas, “Saya adalah Islam yang sederhana.” Lalu seseorang mebalas, “Apalagi Islam sederhana itu? Islam turunan? Islam KTP?” sambil tersenyum miris, saya mengetik kalimat ini:
“Saya Islam sederhana. Sebab saya masih bekerja dengan lelaki yang bukan mahramku. Saya Islam sederhana sebab saya masih mengenakan celana panjang dan kemeja laki-laki. Saya Islam sederhana. Sebab saya masih menikmati budaya cafe dan musik. Saya Islam sederhana sebab masih menggemari film dan drama Korea. Saya Islam yang sederhana. Sebab saya masih menjaga silaturahim saya dengan mereka yang non-muslim. Saya Islam yang sederhana. Yang meyakini bahwa ideologi khilafah yang dulu diberlakukan di jaman Rasul tidak relevan jika diberlakukan di Indonesia. Karena akan merusak pondasi demokrasi, menciderai reformasi bahkan ke-bhineka-an. Saya Islam yang sederhana.”

Lalu saya googling untuk mendapatkan potongan puisi Jalaludin El Rumi, “Jangan tanya apa agamaku. Aku bukan Yahudi. Bukan Zoroaster. Bukan pula Islam. Karena aku tahu, begitu suatu nama ku sebut, kau akan memberikan arti yang lain daripada makna yang hidup dalam hatiku.”

Kemudian saya menutup debat grup obrolan kami malam itu dengan hadits ini, “Aku menjamin dengan sebuah istana yang terdapat di tepi syurga bagi orang yang meninggalkan perdebatan meskipun ia benar, aku menjamin dengan sebuah istana yang terdapat di tengah syurga bagi orang yang meninggalkan dusta meskipun ia bergurau, dan aku menjamin dengan istana yang tertinggi bagi orang yang membaguskan akhlaknya” (HR. Abu Dawud, disahihkan albani).

Saya mengirimkan tulisan panjang itu kepada mereka dan berharap bahwa itu adalah opini terakhir yang saya kirimkan malam itu. Karena waktu sahur sudah dekat, artinya sudah beberapa jam kami berdebat satu dan lainnya (meskipun sebenarnya saya sendirian dan mereka berbanyak). Tapi ternyata obrolan terus berlanjut. Mereka kekeuh bahwa dengan diberlakukannya ideologi khilafah di Indonesia, negara ini akan menjadi lebih baik. Saya pun kekeuh bahwa khilafah tidak mengajarkan kita untuk menjadi orang Islam yang in-to-le-ran! Saya menganjurkan mereka untuk mengenal filsafat dengan harapan dari situ mereka dapat memahami pendapat saya yang menganjurkan mereka untuk melihat segala hal dari berbagai sisi. Jika tak mampu dari berbagai sisi, paling tidak, kita mampu menganalisa segala sesuatu dari dua sisi. Seperti halnya Islam yang menganjurkan ummatnya untuk berpedoman pada Al-Qur’an dan Hadits. Bukankah Islam sudah lebih dulu mengajarkan kita untuk melihat segala sesuatu dari dua sisi?

Kemudian saya lanjutkan dengan pertanyaan, “Pernahkah disebutkan golongan Islam apa dan yang mana yang akan masuk surga sampai kalian berani-beraninya menghujat ulama dan Islam golongan lain selain kalian?” mereka menjawab. “Islam rahmatan lil alamin. Yang berpegang pada Al-Qur’an dan Hadits.” Dan saya membantah lagi, “Semuanya mengkaji Al-Qur’an dan Hadits. Berpegangan pada dua hal tersebut tapi nyatanya masih banyak yang tergelincir bahkan menjadi radikal karena kurang memahami atau memaksakan diri mengkaji, padahal dengan sederhana bisa dimengerti.”

Entahlah, obrolan malam itu tidak pernah mencapai mufakat sampai saat ini. Sebab meskipun saya sendirian digrup itu yang meyakini bahwa ideologi khilafah tidak relevan untuk diberlakukan di Indonesia dan mereka berbanyak tapi sulit sekali untuk meng-iya-kan kata setuju diantara kami. Akhirnya kami berniat meng-ngopi-kan obrolan ini di cafe. Sayangnya, itu hanya menjadi WACANA FOREVER. Entahlah, mungkin sulit untuk bertemu. Sebab anjuran saya mengenai filsafat justru semakin mem-per-pa-rah keadaan malam itu. Bahkan ada yang beropini seperti ini, “Saya sudah belajar filsafat saat mengambil S2. Bahkan dosenku jauh lebih paham dari pada kau.” Lagi-lagi saya tersenyum. Wajar saja jika responnya seperti itu. Sebab apa yang dia yakini ideal, yaitu diberlakukannya ideologi khilafah di negara ini adalah logical fallacy menurut saya. Saya hanya menjawab dengan kutipan seorang teman, “Ketika philsuf mulai mencari tahu kebenaran, mereka akan meninggalkan segala sesuatu yang seolah-olah berbentuk keyakinan jauh dibelakang, meskipun itu adalah ilmu pengetahuan. Sampai mereka tiba dikeyakinan yang tertinggi yaitu teologi atau Haqul Yakin.” Ada yang menjawab dengan jawaban yang benar-benar tidak menyenangkan. “IQ mu rendah, dek. Makanya pikiranmu dikuasai oleh golongan orang-orang munafik.” Wow! Saya menarik nafas panjang dan berusaha tidak terpancing sebab ini hanya diskusi. Saya mengirimi mereka apa yang pernah dijelaskan oleh salah seorang rekan diskusi saya, yaitu strata berfikir dalam filosofi.

“Kalian terlalu pragmatis. Masih mudah diprovokasi dengan logical fallacy yang menjual agama. Kalau sudah belajar filsafat, sudah pernah baca buku DUNIA SOPHIE?” kalimat itu saya kirim dengan emoticon tersenyum. Lalu saya mengingatkan lagi, “Celaka orang yang tidak mengamalkan ilmunya, lebih celaka lagi orang berilmu yang tidak melakukan apapun” dengan statement pertanyaan, “Itu adalah salah satu hadits yang saya kutip tapi saya lupa siapa sumbernya. Apakah kalian ingat?”

Dan perdebatan kami masih terus berlanjut. Bahkan bercabang ke berbagai grup obrolan, sampai media sosial. Seperti yang kita tahu, bahwa keyakinan mereka mengenai hal itu masih sangat kuat. Banyak dari kita yang tidak mau open-minded dan kekeuh tanpa menyadari dengan benar bahwa Islam sudah lebih dulu mengajari kita untuk bijak dan mengkaji segala hal melalui berbagai sisi dibuktikan dengan peninggalan Rasul yaitu Al-Qur’an dan hadits. Bukan hanya satu dari dua pegangan ummat itu. Niat ngopi dan berdiskusi masih belum terlaksana, perdebatan terus terjadi, penyadaran-penyadaran dari berbagai versi terus berlanjut. Saya ingin menutup tulisan ini dengan lima strata berfikir dalam filosofi. Yang pertama adalah Praktis, Pragmatis, Ideologi, Filosofi, dan yang tertinggi adalah Teologi. Dan dalam Islam itu sendiri, ada tiga tahapan berfikir. Mereka adalah Ilmul Yaqin, Ainul Yaqin, dan Haqul Yakin.

Baiklah, itu saja. Entah apa makna dari tulisan ini tetapi yang pasti niat saya untuk membuat ini adalah untuk kebaikan. Masih banyak lagi sebenarnya yang ingin saya tuangkan. Tapi melihat jumlah huruf yang sudah lebih dari seribu enam ratus ini, agaknya saya sendiripun bosan membaca karena terlalu panjang. Dan justru akan lebih menarik jika saya membagi tulisan ini menjadi tiga. Semoga bermanfaat. Sampai bertemu ditulisan saya selanjutnya, masih dengan topik yang sama.

Mendung-Mendung Baper Jelang berbuka Puasa Part I, ber-sub-judul: Islam Sederhana & Ideologi Khilafah di Indonesia, selesai.

Ditulis dengan sepenuh hati oleh seorang yang bukan anggota partai, tidak berpolitik mewakili partai, bukan penulis dan hanya ibu rumah tangga biasa, beranak dua, berusia dua puluh empat tahun. Yup! Mamah Muda!
Rabu, 30 Mei 2018
Pkl. 20.15 WITA

P.S: silahkan googling untuk pengertian lima istilah strata berfikir dalam filsafat dan tiga strata berfikir dalam Islam. Untuk pengkajian lebih dalam, silahkan temukan partner diskusi. Dan ditulisan selanjutnya saya akan membandingkan bagaimana paham Islam yang keren dan bermartabat sampai Islam pernah menaklukkan Eropa bahkan menguasai dunia, dengan paham Islam Receh saat ini. Terakhir, pertanyaan tentang DUNIA SOPHIE dan soal hadits, tak pernah terjawab. Terakhir (benar-benar terakhir) Jangan sungkan untuk mengoreksi tulisan saya, sebab itu adalah hal yang sangat saya nantikan! J

Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer