2019 dan Masa Transisi

Selamat sore, pembaca. Seyogyanya tulisan ini saya rilis tepat di pergantian tahun 2018 ke 2019 kemarin. Tetapi karena satu dan lain hal, tulisan ini akhirnya saya revisi dan rilis di hari ini. Oh ya, beberapa waktu tak bersua, dari nama blog ini saja kalian pasti mengetahui bahwa saya adalah bagian dari Petobo. Yup! Benar sekali, bahwa saya adalah satu dari orang beruntung lainnya yang dititipkan Tuhan untuk menjadi saksi hidup dari LIKUEFAKSI. Panjang ceritanya, kawan. Intinya saya sekeluarga alhamdulillah selamat semuanya meskipun tak membawa satu benda apapun termasuk baju dibadan, karena semua pakaian kami sobek akibat semalaman terjebak di lumpur. Sudahlah, semoga semua kejadian ini membawa berkah untuk hidup kita selanjutnya. Duka mendalam tentunya kita rasakan terkait banyaknya bencana yang terjadi di negeri ini. Baiklah, mari kita mulai pembahasan sebenarnya.

Selamat datang di tahun 2019, tahun dimana kadar keilmuan kita semakin bertambah khususnya dalam bidang kebencanaan. Bagaimana tidak, sejak kejadian yang menimpa PAGASI (Palu, Donggala & Sigi) kita banyak mengenal perbendaharaan kata yang baru. Sebut saja LIKUEFAKSI, JITUPASNA, PENYINTAS, COMMUNITY ENGAGEMENT, MITIGASI, CLUSTER, HUNTARA, HUNTAP dan lainnya. Mungkin beberapa dari kita sudah pernah mendengar istilah ini tetapi saat bencna, pemaknaannya menjadi sedikit berbeda. Kita pun akhirnya mengetahui jenis-jenis UN, bukan hanya UNICEF yang kita saksikan di beberapa episode Upin & Ipin, tetapi juga ada UN OCHA, UNFPA, UNDP dan lainnya. Tak perlu saya paparkan satu persatu, agar tidak memperpanjang tulisan ini, kalian bisa mengakses pengertian kata demi kata tersebut melalui google.

Yang ingin saya ulas adalah tentang penanganan bencana alam yang terjadi di Sulawesi Tengah ini, khususnya di PAGASI. Tak perlu saya mention satu persatu kekacauan saat pendistribusian atau tentang data yang entah dari mana sumbernya sehingga menjadi dasar pendistribusian logistik, atau soal perbaikan fasilitas, bantuan tenda dan lainnya (maaf jari jemari saya tak mampu menahannya), mari berfokus pada situasi saat ini. Korupsi dana SPAM dan PERPANJANGAN MASA TRANSISI DARURAT. Wow!

Siapa yang mampu mengelak penanganan bencana alam di Sulteng terlalu politis? Itu adalah fakta! Mungkin karena beliau adalah oposisi (jika bersu'udzon) atau mungkin karena para pemimpin kita dari tataran atas hingga ke bawah belum pernah ada yang berpengalaman dalam hal urus-mengurus bencana, atau sekedar paham pentingnya mitigasi. Itu fakta, kawan. Dan dua-duanya tetap tidak enak untuk dibahas. Tetapi, sepolitis apapun itu, penanganan bencana adalah bukan soal kemenangan RI 1 atau si dia, tapi soal bagaimana kita mampu menangani  proses alam ini dengan benar.

Mari menjadikannya lebih mengerucut. SK Gubernur Nomor: 360/509/BPBD-G.ST/2018 yang memuat keputusan perpanjangan masa transisi darurat sampai pada tanggal 23 Februari 2019 yang sebelumnya berakhir di 25 Desember 2018. Awal membaca broadcast dari WAG ke WAG maupun personal chat memberikan rasa tenang bagi penyintas seperti saya. Kenapa? Sebab jika masa transisi darurat ini di perpanjang, berarti masih ada celah untuk memberikan masukan-masukan kepada pihak terkait tentang keribetan yang kami alami di camp pengungsian, atau di shelter sementara yakni rumah keluarga. Diantaranya adalah soal HUNTARA.

Tetapi harapan hanya tinggl harapan, sebab pada tanggal 28 Desember 2018 publik di kejutkan lagi terhadap terbitnya SK Gubernur Nomor: 369/516/DIS.BPMR-G.ST/2018 tentang Penetapan Lokasi Tanah Relokasi Pemulihan Akibat Bencana di Propinsi Sulawesi Tengah. Bukan hanya karena tidak mencantumkan wilayah PETOBO ATAS sebagai satu dari lahan relokasi, atau menetapkan DUYU dan TALISE sebagai satu dari wilayah relokasi untuk HUNTAP nanti, tetapi karena keputusan ini terbit begitu saja sebelum mempertimbangkan pendapat orang banyak. Padahal jika SK Perpanjangan Masa Transisi Darurat tersebut memang diperuntukkan untuk melakukan pelibatan masyarakat terkait penentuan dan penyusunan rencana ke depan, tentunya tidak akan terjadi kesenjangan sosial antara pekerja (pihak ketiga) HUNTARA dan warga setempat. Atau tidak akan ada peningkatan aktifitas kriminal karena kekhawatiran akan kehilangan sumber ekonomi dikarenakan tak ada kejelasan hingga saat ini.

Yang ingin saya pertanyakan adalah, dari beberapa tahapan bencana ini, dimanakah peran pemerintah daerah? Apakah rapat-rapat dan terus rapat dengan organisasi mitra mereka atau sibuk-sibuk hitung menghitung bagian dan alinea mana yang akan diganti dalam surat keputusan selanjutnya? Ataukah mereka masih tergagap-gagap sampai lupa bahwa tugas dan kewajiban mereka adalah mengayomi masyarakatnya.

Beberapa waktu yang lalu, saya dikejutkan seorang adik cantik manis, sepupuku yang duduk di bangku kelas tiga SMK. Mereka tetap  melakukan simulasi ujian nasional dengan kondisi yang belum kondusif untuk belajar. Hal yang sama juga terjadi pada siswa & siswi kelas tiga di SMP. Bagaimana anak kelas 6 SD? Saya tak tahu dan tak sanggup lagi jika harus mendengarkan jawaban "Bahwa mereka juga masih mengikuti ujian" seperti murid lain yang kehidupannya normal dan tidak terjadi apa-apa. Yang membuat hati saya perih adalah, mengapa anak-anak di paksa untuk ikut ujian ditengah situasi darurat bencana? Mental guru pun menjadi satu dari sekian banyak pertanyaan dalam benak saya. Apakah dikepala mereka hanya memikirkan bagaimana caranya agar rupiah sertifikasi tidak berkurang sedikitpun sampai mereka harus se-me-nge-ri-kan itu. Apakah kita memang lemah dalam pemahaman kedaruratan? Semoga saja tak ada guru yang memberikan contekan kepada anak-anaknya yang ujian kemarin. Sebab nilai moralnya adalah mengajarkan merak praktik korupsi diperbolehkan dalam keadaan kepepet.

Sewajarnya kita semua merubah pemikiran kita dan tidak abai terhadap perkembangan dunia ilmu pengetahuan. Sebab kita sudah melangkah jauh ke depan meninggalkan zaman orde baru. Sebaiknya kita tidak terlalu kaku menyikapi bencana sampai harus memaksakan semua baik-baik saja dan mengikuti siklus normal dalam tataran apapun. Ratusan hektar wilayah yang hilang seharusnya menjadi laboratorium terbesar tentang pentingnya menanamkan pemahaman darurat bencana, kebencanaan dan mitigasi. Ribuan orang yang meninggal seharusnya menjadi harga termahal yang telah kita bayar karena mengabaikan standar operasional prosedur evakuasi dan tak boleh dilakukan lagi apapun dan siapapun pemimpinnya.

Andaikan memang pemerintah berniat membuka diri untuk lebih sering melakukan pendekatan atau sekedar mendengarkan keluh kesah warganya, maka perpanjangan masa transisi ini seharusnya menjadi jembatan untuk memperbaiki hubungan pemerintah dan masyarakat sipil yang renggang sebab kehilangan arah dari sejak bencana sampai saat ini. Tetapi jika Tuhan telah menutup hati mereka, indikasi korupsi dan kalkulator rupiah akan terus berjalan, sebab kita yang beraktifitas dilapangan tahu betul bagaimana kondisi susah masyarakat yang tertimpa bencana merupakan hal seksi untuk meraup rupiah, bahkan dolar. Terbukti dengan banyaknya dana hibah dan hutang atau LOAN yang masuk berkedok bantuan.

Jika sinergitas bisa dibangun, tanpa ada pilihan lan, ibarat kata dua kekasih yang berpegangan erat saat melintasi seutas tali diketinggian, mau tak mau saling menguatkan adalah pilihan terbaik. Jika tidak, maka prediksinya adalah bencana sosial akan terjadi, kerusuhan, bahkan eksodus ke dua kalinya karena ke-sem-ra-wut-an yang tak berakhir terus menerus terjadi. Peran pemerintah juga dibutuhkan dalam aspek penanganan HOAX, misalnya saja ada ahli nujum yang mengatakan bahwa di tanggal xx akan terjadi musibah A sehingga masyarakat menjadi resah dan berbondong-bondong mengungsi.

Beberapa aspek lain yang juga menaruh harapan besar dalam masa perpanjangan masa transisi darurat ini adalah KAUM RENTAN yang cenderung terabaikan. Huntara yang sama sekali tidak mendukung pengguna seperti saudara kita yang disabilitas, atau tak memberikan privasi bagi keluarga, remaja putri dan lainnya juga berharap bagaimanapun pemerintah akan melakukan perannya dalam pemenuhan hak korban bencana alam.

Banyak seekali yang ingin saya utarakan sebenarnya, tetapi karena hawatir, maka saya akan menyudahi tulisan ini sampai disini saja. Pertanyaan terakhir untuk kita semua, apakah pekerja kemanusiaan, penyintas yang sudah menajadi relawan, kawan NGO dan INGO, juga politisi dan lainnya. "ARE YOU WORK WITH OR ARE YOU WORK BY?"

Sekian, ditulis dengan keinginan sepenuh hati untuk mengumpat dan protes tetapi berusaha menahan diri. Nantikan tulisan saya selanjutnya, kawan. Jangan lupa tinggalkan umpan balik berupa kritik dan saran agar saya dapat memperbaiki tulisan (pribadi) saya kedepannya.

#KitaKuat #KitaBisa #KitaBangkit
#SultengBangkit
#PetoboBangkit!

Ditulis dan direvisi menggunakan komputer pinjaman, jangan tanyakan milikku kemana.
Salam hangat,
Ista Nur Masyithah

Komentar

Postingan Populer