(Segelintir) Orang
Hari ini, eh, bukan. Kemarin saya bertemu
dengan banyak orang. Banyak sekali (ragam) orang. Dari elit politik, para aktor
di balik layar kesuksesan para politisi sampai para pemeran di balik suksesnya
jamuan buka puasa untuk banyak orang. Oh ya, malam ini saya juga bertemu
(bahkan berdiskusi) dengan para pengacara. Betapa saya menyadari bagaimana
berbinarnya mata saya saat berdiskusi dengan orang-orang yang memiliki profesi
idaman saya. Yah, mungkin sedikit egois, sebagai seorang yang hampir
menyelesaikan jenjang studinya di jurusan ilmu pendidikan tiba-tiba berkata
ingin menjadi lawyer setelah vakum
bertahun-tahun dari panggilan drop out
almamaternya. Sebenarnya, saya terilhami mimpi tersebut setelah menikah.
Melihat banyak orang disekeliling saya yang selalu terjerat kasus hukum dan
tidak menempatkan penyelesaian yang tepat menurut saya (tentunya bukan menurut
hukum sebab hukum kita tidak pernah berpihak pada rakyat) dan menerima
konsekuensinya dengan pasrah.
Ah, alinea pengantar tentang mimpi saya
sudah cukup panjang, tetapi saya masih ingin bercerita lagi. Saya pernah
berdiskusi beberapa kali, dua atau tiga kali bertatap muka dan lumayan sering PC (Personal Chat) dengan seorang kawan
aktifis yang sudah menyelesaikan ujian profesi advokatnya tentang lika-liku
profesi tersebut. Dia dengan bangga menyatakan dirinya sebagai seorang
Pengacara yang paling bebas (bergaya) baik dari sisi pakaian maupun cara
berfikir. Bahkan dia sempat memamerkan fotonya yang naik ke atas bangku supaya
tidak terlihat mainstream saat
berfoto bersama koleganya. Hah, membuatku iri dan semakin ingin mengemban titel
SH bahkan mungkin MH. Siapa tahu rejeki. Hehe!
Lalu obrolan kami berlanjut tentang
lika-liku penyelesaian kasus yang dia hadapi. Lalu saat saya berkonsultasi
tentang gugatan CSR yang di gagas kawan seperjuangan kami, Aliansi Palu
Monggaya, kemudian menarik pembanding tentang kasus serupa, bahkan kasus
lainnya, kesimpulannya adalah hukum
tidak pernah berpihak kepada masyarakat kecil. Dengan lirih dia berkata, tahu sendirilah, Ta.. bagaimana hukum di
negara kita. Saat itu, saya menyandarkan punggung saya di kursi, kemudian
bertopang dagu sambil berkata, sepertinya
saya kurang cocok menjadi bagian dari kalian. Tahu sendiri kan bagaimana saya?
Saya bisa frustasi karena kasus demi kasus dan putusannya. Dia hanya
terkekeh, kemudian meyakinkan saya untuk tetap kuliah (lagi) dan mengambil
jurusan itu. Yah, kita lihat saja nanti. Apakah argumentasi saya masih tetap
sama, setelah saya menempuh jalannya, melakukan syariatnya dan melihat
kesuksesan adik papa saya yang memiliki profesi sama dengan rekan saya tadi.
Entahlah. Tiga alinea ini sudah menjadi intro tulisan tentang (segelintir)
orang yang saya buat saat ini, pukul dua
dini hari.
Mari kita kembali pada kalimat ke tiga
pada alinea pembuka tulisan ini.
Elit politik dan orang-orang yang berada
di balik layar dari kesuksesan mereka dan para aktris yang berperan penting
dalam kesuksesan jamuan berbuka puasa. Elit politik yang sempat berpapasan sore
tadi adalah para pembesar dan jajarannya. Mereka orang-orang di atas panggung
yang berjuang dan berujar akan mensejahterakan rakyat setelah memenangkan
pemilu. Mereka adalah orang-orang hebat, pemenang dalam ring tinju
masing-masing, ahli strategi dalam memainkan bidak catur masing-masing, bahkan
pencuri hati rakyat karena kinerjanya. Sebagai seorang yang bukan anggota
partai politik manapun, meskipun saya terjun dalam perjuangan politik, saya
tetap merasa sedikit tidak nyaman dan terasing dengan “agenda dapur” mereka.
Tentu saja karena hati saya masih kekeh untuk bertahan dalam posisi ini. Karena
berpolitik tidak mesti menjadi anggota suatu partai politik. Sebab berpolitik
lekat dengan keseharian kita. Maka untuk menghindari “agenda dapur” tersebut
saya memutuskan untuk menelpon kolega saya, lalu bertemu. Niat melepas rindu,
saya malah terjebak menjadi tim dapur sungguhan. Yah, saya memang senang
mengamalkan filosofi air menurut Sun Tzu.
Eh, tapi tunggu dulu. Berpolitik lekat
dengan keseharian kita yang saya maksudkan bukan tentang (segelintir) orang
yang mendadak menjiwai politik karena hegemoni pemilu serentak 2019 ini, bukan
juga tentang (segelintir) orang yang mendadak pengamat politik karena terkena
fanatisme akibat pilpres 2019 ini. Tetapi, berpolitik
lekat dengan keseharian kita yang saya maksudkan disini adalah tentang
masyarakat yang secara sadar turut mengawal kebijakan politik oleh para pelaku
politik, hatta kebijakan lurah
ataupun RT sekalipun. Itu bagian dari politik juga, loh! Misalnya, para istri
yang senang meneror suami (terutama mendekati hari raya) tentang kebijakan
dapur umum untuk domestiknya, para milenial yang protes karena pajak makanan di tempat
nongkrongnya terlalu mahal, para anak yang merasa terbebani saat hak belajarnya
diubah menjadi beban hidup-penyebab-ransel-berat-tidak-ada-ekskul sampai pada
seleksi masuk perguruan tinggi, dan masih banyak lagi. Lantas bagaimanakah
dengan penyebar hoax, apakah mereka
juga termasuk kategori berpolitik lekat
dengan keseharian kita atau tidak? Jawabannya tentu saja TIDAK. Nanti akan
kita bahas lagi soal HOAX.
Kita lanjutkan lagi tentang (segelintir)
orang di balik kesuksesan para politisi.
Banyak yang beranggapan bahwa orang-orang
di balik layar ini adalah para tim sukses dari masing-masing kandidat yang
bertarung dalam pemilihan umum. Bisa iya, bisa tidak. Maksudnya, opini tentang
siapakah orang di balik layar yang di arahkan pada tim sukses tidak sepenuhnya
benar. Kok bisa? Ya bisa, noh! Orang-orang dibalik layar terdiri dari tim
sukses tentunya dan para konstituen, keluarga, sahabat, kritikus dan pengamat.
Merekalah orang-orang yang selalu menjadi bagian dari kesuksesan politisi ini.
Politisi membangun tim kerjanya sebab tidak memungkinkan seorang manusia
mengakomodir banyak orang sendirian. Sedangkan konstituen adalah orang-orang
yang mempercayakan mimpi dan harapannya kepada politisi, mereka berjasa dalam
keterpilihan seorang politisi. Karena semakin banyak konstituen, semakin besar
kans seorang politisi untuk menang. Keluarga menjadi inner cycle utama dalam perjuangan seorang politisi. Anak dan istri
memegang peranan penting dalam kesuksesan seorang politisi. Bukan hanya
merelakan kehidupan pribadi mereka di sorot oleh khalayak, kesabaran, motivasi
dan kehangatan rumah menjadi faktor utama dalam membangun kesiapan mental
seorang politisi. Sedangkan sahabat selalu available
dalam berbagai proses, mulai dari bela membela sampai hujat menghujat. Seorang
sahabat pernah berujar di depan seorang politisi dan timnya, “Patah kalau mau
patah, maju terus!” dan itu benar. Meskipun tidak semua berucap, dalam diam pun
sahabat pasti saling mendoakan. Lantas bagaimana dengan kritikus? Apa
peranannya di balik layar? Kita semua tidak asing dengan kalimat klise benci
hanya berbatas sehelai rambut dengan cinta, bukan? Begitulah kira-kira. Seorang
politisi yang baik tentu tidak pernah kenyang dengan pujian. Pasti
memperhatikan sekitarnya. Seorang politisi yang memiliki karir gemilang sudah
pasti bukan seorang yang anti kritik. Meskipun ada beberapa yang masih nanggaulu (dalam bahasa Kaili, jadul artinya) karena tidak suka di kritik.
Mereka semua bersatu dan menempatkan diri
dalam posisinya masing-masing, untuk mensukseskan politisi ini dalam panggung
elektabilitas dan popularitasnya. Berpolitik itu tidak main-main, kawan. Pun
demikian halnya dengan mengambil keputusan untuk berlabuh pada suatu partai
politik sebagai wadah resmi yang menjadi peserta dalam proses demokrasi setiap
lima tahun sekali. Menjadi politisi, artinya sudah siap dengan segala hal.
Putih maka kau pun putih, hitam maka kau pun hitam. Jangan di antaranya, nanti
tenggelam. Mirip-mirip kopi, minumlah kopi itu selagi hangat atau pakai es
batu, jangan di antaranya. Tak sedap, lah.
Selanjutnya tentang para pemeran yang
mensukseskan jamuan buka puasa bersama.
Mereka adalah dua sosok perempuan yang
paling sibuk kesana kemari, mondar mandir mengawasi kue demi kue, gelas demi
gelas es buah, sendok demi sendok nasi dan biji demi biji kurma dapat dinikmati
oleh para hadirin. Menarik saja, sebab mereka menjadi alasan tuan rumah dapat
tersenyum senang karena jamuan buka puasanya sukses. Kenapa saya tertarik
bahkan dengan hal sepele seperti ini? Sebab saya selalu ingin melihat dunia ini
dari berbagai sisi. Bukan hanya dari sudut pandang pemeran utama tetapi juga
memahami para figuran dan pelaku di balik layar. Bukan, ini bukan tentang project film, hanya saja perumpamaan ini
terasa tepat untuk membahas situasi yang sedang kita bahas, termasuk situasi
nasional pasca putusan KPU tentang
Pilpres.
Kita sama-sama tahu dan paham betul
situasi saat ini, suhu politik yang memanas. Saya enggan sebenarnya sebab ini
hanya membuat orang-orang yang kehilangan akal sehatnya dan larut dalam
fanatisme (cinta buta) pada salah satu paslon kemarin semakin menggila dan
menolak apapun yang disampaikan padanya selagi bertentangan dengan apa yang dia
yakini. Tetapi, hal ini perlu di utarakan, di bahas, di diskusikan, bahkan di
cermati. Sebab selemah-lemahnya iman adalah diam
ketika melihat yang bathil pun demikian dalam perintah undang-undang.
Kita tarik benang merahnya, hal ini sudah
membuat saya gemas. Karena bermunculan meme
yang mengejek dan mengabaikan jeri payah para penyelenggara dan kontestan
politik kemarin yang treang-terangan mencibir karena hasil perhitungan KPU di
umumkan tengah malam. Katanya kalau siang nanti puasanya batal karena
berbohong. Ijinkan saya menarik nafas panjang dulu baru melanjutkan. Kalau
pembaca juga butuh tarikan napas panjang, kita yoga saja. Eh?!
Begini para pembaca sekalian, meskipun
pendapat saya akan di nilai subjektif oleh (segelintir) orang, semoga uraian
saya ini bisa membuatnya menjadi objektif. Semoga!
Dalam PKPU No. 7 Tahun 2019 jelas di
uraikan tentang Tahapan Pemilu. Mulai dari jadwal verifikasi berkas, penetapan
calon kontestan pemilu, tanggal pelaksanaan pemilu, jadwal perhitungan, sampai
pada penetapan bahkan jadwal untuk mengajukan gugatan. Nah, dari uraian
tersebut sangat jelas bahwa penetapan
adalah tanggal 22 mei 2019, maka tidak mengikat kapan pengumuman hasilnya. Mau
siang, mau malam, mau subuh, pagi buta, kapanpun, penyelenggara memiliki hak
mutlak atas pengumuman hasil perhitungan itu.
Rinciannya begini, mengawal perhitungan
suara dari mulai di TPS masing-masing sampai ke Pleno tingkat Kecamatan
benar-benar melelahkan secara psikis dan mental (bukan karena proses yang saya
ikuti selesai jelang imsak) karena kerja beratnya ada disitu. Sampai pada
tahapan pleno kecamatan kita masih bisa membuka kotak surat suara bahkan
menghitung ulang surat suara. Capek, kan? Terbukti dengan wafatnya lima ratusan
penyelenggara pemilu dan ratusan yang sakit karena kelelahan. Dalam hal ini
saya menyampaikan duka yang mendalam bagi para pahlawan demokrasi yang gugur
saat mengawal proses ini, pun saya memberi hormat pada para penyelenggara serta
para saksi parpol yang intens, tak kenal lelah, tak kenal waktu, tak peduli
konflik domestik demi mengawal proses demokrasi dengan benar. Jangan tanyakan
proses pleno di tingkat kabupaten kota, sebab khusus Kota Palu yang saya ikuti,
kami berakhir saat fajar baru terbit. Pikirkan sendiri, perkirakan sendiri
waktunya.
Jika sudah seperti itu, apakah harus
mempertaruhkan resiko untuk menunda pengumuman agar bersamaan dengan penetapan?
Sedangkan semua pelakunya adalah manusia yang sangat membutuhkan istirahat.
Mereka tetap berpuasa bahkan di saat mentally
tired and physically tired. Bahkan tidurpun mereka abaikan meskipun itu hak
tubuhnya. Kurang total apalagi mereka? Belum lagi para saksi yang selalu ngotot
untuk buka C1 plano bahkan tak segan meminta penghitungan surat suara lagi jika
tak sesuai dengan C1 salinan pegangannya. Laptopku saja hank karena tidak pernah istirahat sejak di gunakan untuk tabulasi
data. Apalagi kita manusia. Kita SANGAT membutuhkan istirahat. Maka tak ada
alasan menunda pengumuman hasil perhitungan jika sudah selesai. Justru yang
patut di curigai, jika pengumuman di tunda dan hasil di rahasiakan padahal
prosesnya sudah selesai.
Nah, bagaimana respon (segelintir) orang
Indonesia tentang hal ini? Mereka justru semakin larut dalam fanatisme dan
delusi kemenangan junjungan mereka. Tak ada lagi kepercayaan pada saksi yang
bertugas mengawal dari proses awal yaitu di TPS, sampai ke tahapan nasional.
Seolah mereka tak memiliki saksi atau enggan mengakui hasilnya, entah. Justru
menurut saya mereka tidak mengerti cara mengapresiasi hasil kerja orang lain.
Setidaknya berterima kasihlah pada semua pihak yang sudah mengawal proses ini.
Mereka bukan hanya memikirkan rupiah, sebab upah mereka tidak sebanding dengan
suar lelahnya yang tak kenal waktu mengawal proses ini. Bahkan beberapa sampai
opname di rumah sakit, bertengkar dengan pasangan, mengesampingkan hak anaknya,
bahkan menzalimi diri sendiri karena mengurangi istirahat.
Pernahkah sedikit saja, kubu sebelah
memahami “terimakasih” dengan benar? Atau sekedar “menghargai” jika paparan
saya di atas terlalu ideal untuk mereka. Jika sulit, sekurang-kurangnya mereka
TIDAK MENYEBARKAN UJARAN KEBENCIAN yang berujung pada pemanfaatan oleh oknum
PENYEBAR HOAX yang kepalanya sudah di penuhi fanatisme dan delusi kemenangan
yang haqiqi. Sangat memprihatinkan.. sudah tidak memahami tahapan pemilu (atau
sengaja abai), masih nyinyir lagi. Kemudian berlaku seolah yang paling
menghargai ratusan nyawa yang gugur. Ah, di bilang drama queen, bukan. Demikian halnya dengan kubu pemenang,
#jokowiduaperiode yang saat ini sedang di serang habis-habisan seolah mereka
samsak untuk luapkan emosi dan kekecewaan pendukung paslon yang belum
beruntung. Kesempatan ini digunakan (segelintir) orang untuk mengacaukan NKRI
yang kita cintai ini.
Yang kalah terus dikompori oleh (segelintir)
orang yang tidak puas dengan penetapan hasil pemilu, lalu membiarkan 22 Mei
2019 pecah. Banyak relawan maupun pendukung paslon 02 di beritakan turut serta
dalam aksi, tetapi mereka diingkari. Artikel itu menyebutkan bahwa mereka bukan
pendukung paslon 02. Betapa rendahnya apresiasi mereka bahkan kepada yang
berjuang untuk mereka, yang keliru berpikir bahwa itu adalah jihad. Sama seperti mereka tidak
mengapresiasi kinerja saksi saat mengawal proses perhitungan suara. Padahal
para penyelenggara sangat fair, jika
harus buka kotak dan hitung ulang, mereka bersedia saja selama masih dalam
tahapan, meskipun memakan waktu dan energi lagi.
Kecewa hati ini. Mereka merendahkan Jokowi
yang masih menjabat sebagai Presiden saat ini, bahkan mereka melakukannya sebelum
pemilu. Sekitar dua tahun atau lebih, mereka bebas menghujat dan mengatai
segenap elemen pendukung dan paslon 01 tanpa rem alias jebol. Memproduksi
HOAX untuk memprovokasi masyarakat,
menggunakan tameng agama untuk membodohi rakyat, dan lainnya. Sangat tidak
beretika, bukan hanya dari segi bahasa, tindakan pun demikian. Dua tahun atau
lebih, mereka di biarkan. Sudah bulan puasa pun masih tak sadar. Terus dan
terus memprovokasi, menghentikan aktivitas ekonomi para pedagang ibu kota dan
pedagang daerah yang berbelanja di ibu kota, lalu nyinyir dengan pernyataan
kasihan kepada para pelaku online shop karena medsos di bekukan beberapa waktu
untuk menghindari hoax. Lah, untuk apa ada aplikasi jual beli online? Gaptek
ternyata. Ups!
Anehnya, (segelintir) orang di balik layar
kerusuhan ini justru belum terungkap dengan jelas sampai saat ini. Meskipun
masyarakat awam saja tahu betul siapa
dalang di balik semua ini. Di munculkan lagi frasa people power yang identik dengan reformasi tahun 1998. Kemudian
sugesti untuk menakut-nakuti publik tentang penculikan, target pembunuhan,
tindakan hukum pada oposisi, dan lainnya. Mereka sudah keterlaluan! Ketika di
tindaki, lalu playing victim sembari
berujar tentang kemunduran demokrasi. Ah, gemes aku. Hey, bung! Kalian yang
menyebabkan kemunduran ini. Komplen, katanya protes sedikit lalu di bungkam.
Eh, hujatanmu itu kalau di kumpulkan, mungkin kata demi kata yang setiap hari
lebih dari tiga kali kalian lontarkan lisan maupun di media sosial sudah bisa
menutupi bocornya lapisan ozon di bumi ini saking banyak dan seringnya. Lupa
atau sengaja?
Akhirnya (segelintir) orang yang
berkepentingan menyelinap masuk pelan tapi pasti, senyap dan rapi, melalui
konflik ini. Sayangnya, orang-orang ini sudah di butakan hatinya oleh kebencian
sehingga susah melihat dari sisi lain tentang dampak perbuatannya. Ini jelas
kesalahan pola pikir, kemunduran pola pikir, dan penyangkalan. Sebegitu
mengerikannya fanatisme dan delusi. Menutup fakta, mengacaukan akal sehat,
mengabaikan ilmu pengetahuan dan menimbulkan cinta serta mengagungkan sesama
manusia melebihi Tuhan dan Rasulnya, bahkan membuat manusia lupa dengan
keharusan mengimani Qada dan Qadar.
Ah, rasanya nyungsep. Mengerikan. Seperti
membenamkan wajah pada air dalam bejana. Berharap air itu jernih, ternyata
keruh. Yang ada malah membuat mata perih. Saat mengangkat wajah, bejana itu
tumpah dan ketika melangkah justru terpeleset. Memang hari ini belum terasa
sakit dan memarnya, tetapi besok dan besoknya lagi, sakit dan sesalnya pasti
tiba. Namanya juga penyesalan, pasti selalu datang belakangan. Kalau datang
duluan itu namanya prediksi.
Sebenarnya ini situasi ibu kota, bukan
situasi nasional. Sebab tidak semua daerah bergejolak. Tetapi, bukan ibu kota
namanya kalau tidak mencuri perhatian media. Sehingga semua tayangan berganti
menjadi berita dan uraian program tentang 22 Mei 2019 dan enigma (segelintir)
orang dibaliknya. Semoga dalam konteks lokal, kawan mahasiswa dan aktifis
disini bisa berpikir jernih. Yah, meskipun fanatisme dan delusi ini sudah sampai kemari, tetapi terutama bagi mahasiswa yang dibesarkan melalui doktrin
“melawan penguasa” sebab saat ini, bukan hanya mahasiswa, tetapi kepada seluruh
masyarakat Indonesia. Kita semua dituntut untuk terus berfikir kritis, tabayun
dan berhati-hati dalam mengelola informasi. Kita sudah pernah hidup dan
merasakan Orba, apa iya kita harus terseret lagi dengan Neo Orba? Ataukah ini
saat yang tepat untuk kita move on,
bahu membahu membangun kembali negara ini. Sekurang-kurangnya mengobati luka
hati para pengungsi, bukan hanya Pasigala (korban 280918) tetapi juga korban di
Lombok, Banten dan daerah lainnya. Sebab sebentar lagi lebaran. Mereka adalah
(segelintir) orang yang meski kau berikan uang berapapun tetapi luka karena
kehilangan orang yang mereka cintai tak sembuh. Meski kau berikan uang berapapun
tetapi kenangan akan tempat tinggalnya masih membekas di kepalanya.
Yang mereka butuhkan adalah perbaikan
sistem penanganan dan penanggulangan bencana. Bukan hanya mereka, tetapi
seluruh masyarakat Indonesia. Sebagai satu dari penikmat hidup kedua setelah
likuefaksi, saya sadar betul early
warning system sangat kita butuhkan karena kita hidup di negara cincin api.
Sebab bukan alam yang harus menyesuaikan dengan kita, tetapi kita yang harus
menyesuaikan diri.
Di tulis dengan keinginan sepenuh hati, sampai dekat waktu imsak.
Selamat menikmati santap sahur.
From A Mother and A daughter
With kindly missing my purple corner in Petobo
04.25 AM
Komentar
Posting Komentar