Goes To School

Beberapa hari ini para orangtua sedang disibukkan dengan proses pendaftaran hampir di semua jenjang pendidikan. Saya termasuk satu dari para orangtua yang beruntung itu. Anak pertama saya akan berusia lima tahun di bulan november nanti, artinya dia sudah siap masuk Taman Kanak-kanak alih-alih Pendidikan Anak Usia Dini. Bukan ingin menjelekkan, tetapi dalam framing saya, 1.000 hari pertama anak haruslah di habiskan bersama ibunya atau kerabat terdekat seperti kakek & neneknya. Karena dalam tahap tersebut anak sedang belajar meniru dan menyerap segala bentuk pola perilaku. Nah, berhubung pemberi jempol halaman saya kebanyakan sudah mengenali saya dan rutinitas saya, saya akan berbagi beberapa tips menyiasati pembentukan karakter anak sembari bersibuk ria. Semoga bermanfaat!

Anak kecil tentu memiliki tingkat penasaran yang tinggi terutama kepada hal rutin yang di lakukan orangtuanya. Pertanyaan yang mungkin terlontar dari bibir kecilnya kebanyakan tentang apa yang kita lakukan, nama benda yang kita gunakan, kadar pedas makanan yang kita makan, film yang kita nonton melalui gadget, dan sebagainya. Hal ini menjadi menarik, sebab ketika bertanya, anak kecil kadang susah menghentikannya. Pertanyaan mereka mirip rantai yang terus bersambung. Misalnya, “Ibu sedang apa?” katakanlah kita menjawab dengan ringkas karena tak ingin fokus terpecah, “Kerja, nak.” Turunan pertama pertanyaannya kebanyakan seperti ini, “Ibu kerja apa?” masih dengan jawaban ringkas lagi, “Kerja dokumen, nak.” Turunan ke dua, “Dokumen itu apa, Ibu?” dan seterusnya.

Jangan hawatir, moms. Anak berusia 2-3 tahun wajar jika berperilaku seperti ini. Justru hal ini menjadi kesempatan baik untuk membangun interaksi karena melatih fokus dan kesabaran orangtua sekaligus dalam menghadapi anak. Disaat seperti ini, saya tak ingin kehilangan momen. Sebab dalam PAUD anak-anak sudah di didik untuk bertanggung jawab dan menaati etika. Loh, kenapa begitu? Bukannya itu bagus, ya? Memang betul, bagus. Bahkan hal ini bagus sekali. Tetapi anak yang bisa berimajinasi dengan bebas dan melakukan banyak hal termasuk mengekspresikan rasa penasarannya cenderung lebih berani dan cerdas di bandingkan anak yang sudah di kungkung. Bahkan hanya untuk sekedar mengimajinasikan coretan tak beraturan sebagai gambar ayam tidak di apresiasi sebagai karya, justru anak di paksa menggambar ayam yang sebenarnya, sekalipun milyaran sel otaknya belum mampu menyambungkan garis demi garis itu.

Apalagi sampai di bebankan hafalan beberapa jenis lagu tentang etika. Bukannya saya ingin membiarkan anak saya tumbuh menjadi tak beretika, tetapi saat kecil, mereka tak perlu diberikan limit selagi hal tersebut positif. Saya tidak ingin setiap hari harus mengingatkan anak saya untuk mandi, sikat gigi, atau menaruh sepatunya dengan benar di rak sepatu, apalagi harus membuatnya memakai pakaian yang saya inginkan. Saya ingin anak saya tumbuh menjadi anak yang mandiri dan mampu mengambil keputusan sejak dini meskipun hanya memilih pakaian yang akan dia pakai atau menyebutkan makanan yang dia inginkan. Benang merahnya, saya ingin menanamkan asertivitas kepada anak-anak saya sejak dini.

Sebab di sekolah, asertivitas di pandang sebagai ego atau perilaku agresif yang harus di tekan, sehingga anak tak mampu beropini apalagi berkata tidak jika anak tidak nyaman. Kesetaraan dan keadilan menjadi titik berat dalam proses belajar mengajar di sekolah. Hal ini baik, tetapi lagi-lagi dalam framing saya, hal-hal normatif bukan patokan. Demikian halnya dengan salah dan benar sebab itu relatif.

Saat ini, dengan pola seperti itu (yang jika di bilang kebarat-baratan juga tidak, ketimuran apalagi), anak saya Zacky Al-Fatih yang berusia 2 tahun 5 bulan, sudah bisa mengenali tempat penampungan mainannya sendiri. Setelah dia menghamburkan mainannya, sebelum beralih main keluar atau sekedar tidur siang, adek (panggilan sehari-hari) pasti menyempatkan diri untuk mengumpulkan satu-satu mainannya. Kadang, goodie bagnya di seret kesana kemari sambil memasukkan satu persatu mainannya. Sedangkan Zaid Zarisky, kakak (panggilan sehari-hari) yang berusia 4 tahun 7 bulan ini sudah memahami dengan pasti kapan harus mandi, pentingnya menyikat gigi (setelah yakin dia memang mampu sikat gigi sendiri akhirnya saya membiarkannya), apalagi bersih-bersih. Mereka semangat sekali menirukan neneknya menyapu.

Mereka berdua juga sudah sampai pada tahap protes. Terutama kalau saya terlalu sibuk dan tidak memperhatikan kamar tidur saya. Celetuk bibir kecilnya membuatku gemas, “Kenapa kamarnya ibu seperti hutan?” Mungkin banyaknya pakaian yang di gantung, jenis kosmetik yang tidak tertata rapi, terlihat seperti hutan dalam imajinasi mereka. Saya bangga dan bahagia sebab mampu membuat anak-anak saya berimajinasi lebih banyak, melakukan banyak hal untuk menjawab rasa penasarannya, dan berkata tidak jika tidak ingin. Mungkin terlihat kejam atau memaksakan anak dewasa sebelum waktunya. Bukan ya, moms. Menanamkan kemandirian dan mengajarkan asertivitas sangat penting bagi anak, meskipun membuat anak merasa percaya, nyaman dan bergantung pada kita sebagai orangtua juga penting. Tetapi kita tak perlu mendebatkan soal fakta, bahwa kita tak selamanya berada disisi anak kita.

Jadi, sekolah bukan satu-satunya hal penting bagi anak. Rumah, orangtua dan kerabat juga menjadi instrumen pendidikan yang akan membentuk pola perilaku dasar anak sesuai dengan kaidahnya, yaitu sosialisasi primer. Sekolah menjadi pilihan kedua, karena sekolah adalah wadah untuk mengembangkan kemampuan anak. Bukan penjara yang memberikan hukuman serta mewajibkan anak mengejar nilai dengan standar yang disusun bukan berdasarkan kemampuan anak tetapi kalkulasi angka, nominal yang di jadikan tolak ukur kecerdasan anak. Sekolah mahal, elit atau mengunggulkan salah satu program bukan menjadi hal yang primer, ya moms. Karena lingkup sekolah ada pada sosialisasi sekunder.

Demikianlah ulasan saya kali ini.
Di tulis dengan rasa bangga dan terharu karena baru pertama kali merasakan pengalaman indah menyekolahkan anak. Terlebih karena si kakak memutuskan untuk sekolah TK disini, tidak jauh-jauh dari ibunya. Setelah sebelumnya ingin TK di suatu daerah, tempat tinggal kakeknya.
Perumahan Zebra Indah, 04.33 WITA

Komentar

Postingan Populer